SERANG – Badan Pekerja JRDP meminta KPU untuk segera mengekspos hasil pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pilkada 2020 dengan cara uji publik. Sesuai tahapan, coklit data pemilih mulai dilakukan tanggal 15 Juli hingga 13 Agustus. Selain untuk mengetahui berapa jumlah pemilih yang tercoklit, ekspos hasil coklit juga berguna bagi evaluasi kinerja petugas panitia pemutakhiran data pemilih (PPDP).
Febri Setiadi, Jubir JRDP Pandeglang, menuturkan, KPU bisa saja melakukan ekspos hasil coklit dengan metode uji publik. “Uji publik itu harus melibatkan parpol, LO pasangan calon, Bawaslu, PPK, PPS, media, pemantau, tokoh masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan terhadap data pemilih. Uji publik menjadi sarana efektif bagi KPU untuk mengukur validasi data pemilih. Pada dasarnya uji publik yang dilakukan untuk melindungi hak konstitusi pemilih jangan sampai terabaikan atau hilang karena tidak bisa ditemui,” kata Febri, usai kajian Reboan, di Sekretariat JRDP, Rabu 19 Agustus 2020.
Di tempat yang sama, Koordinator JRDP Ade Bukhori, menjelaskan, berdasarkan rekomendasi Bawaslu RI tertanggal 18 Agustus 2020 disebutkan ada 73.130 pemilih yang saat Pemilu 2019 kemarin sudah tidak memenuhi syarat (TMS), malah ada dalam daftar pemilih. Sementara ada 23.968 pemilih yang menjadi pemilih saat Pemilu 2019, justru tidak ada dalam daftar pemilih kali ini.
“Kami berharap, KPU membuka daftar nama itu. Sehingga bisa menjadi alat kontrol publik, juga sebagai bentuk pertanggung jawaban kinerja KPU. Karena di lapangan yang kami temui ada juga warga yang justru tidak mau dicoklit. Nah kendala yang dihadapi KPU saat coklit itu bisa disampaikan saat uji publik. Agar masyarakat juga obyektif,” kata Ade.
Kata Ade, sesuai Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tahapan Pilkada 2020, usai coklit, PPS melakukan penyusunan daftar pemilih hingga tanggal 29 Agustus mendatang. Bagi JRDP, sisa waktu yang ada ini KPU harus segera menindaklajuti temuan Bawaslu RI tersebut. Di awali dengan membuka daftar nama yang belum tercoklit. Jika sampai tanggal 29 Agustus, masih ada beberapa nama yang belum terdata, padahal yang bersangkutan sudah memuhi syarat, maka kata Ade, Daftar Pemilih Sementara (DPS) belum bisa ditetapkan. “Prinsipnya adalah satu saja pemilih yang tidak terdata dan kemudian tercanam kehilangan hak pilihnya akibat kelalaian petugas KPU, maka sudah memenuhi potensi adanya unsur pidana pemilu.”
Diketahui, sesuai pasal 177 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, kekeliruan pengisian daftar pemilih bisa dipidana dengan penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 12 bulan, serta denda paling sedikit Rp 3 juta dan paling banyak Rp 12 juta.
0 Komentar